Bulugul Maram No 628 Zakat Perdagangan

NAMA: SUSANTI
NIM: 1415201056
KELAS: AAS B  / Semester 3

HADITS NO 628 
  
وَلِلتِّرْمِذِيِّ عَنِ اِبْنِ عُمَرَ مَنِ اِسْتَفَادَ مَالًا فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ اَلْحَوْلُ وَالرَّاجِحُ وَقْفُه ُ

Artinya: menurut riwayat tirmidzi dari ibnu umar, disebutkan : “Barang siapa yang memanfaatkan (mengembangkan) harta, tidak wajib zakat atasnya kecuali harta tersebut telah mencapai masa satu tahun.” Hadits maquf.

Kata penting
Dalam Hadits ini terdapat kata مَنِ اِسْتَفَادَ مَالًا Yaitu memanfaatkan atau mengembangkan harta yang dimaksud adalah perdagangan, dan kata اَلْحَوْلُ  yaitu mencapai satu tahun atau haul. Ini berarti zakat perdagangan wajib zakat apabila telah mencapai masa satu tahun atau haul.
Harta dagang adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba, dan harta yang dimilikiny harus merupakan hasil usahanya sendiri.

Penadapat para ulama
Zakat kekayaan dagang  adalah wajib menurut empat mazhab, tetapi menurut imamiyah adalah sunnah. Zakat yang dikeluarkanya itu adalah dari nilai barang-barang yang diperdagangkan.
Adapun kadar wajib zakat perdagangan adalah 2,5%, merujuk pada hadits yang diriwayatkan dari ziyad bin huadair, ia berkata: “umar mengutusku sebagai penarik zakat (mushaddiq). Ia memerintahkanku untuk mengambildari kaum muslimin 2,5% dari harta mereka jika mereka memutarnya untuk perdagangan.
Semua mazhab sepakat bahwa zakat perdagangan syaratnya harus mencapai satu tahun. untuk menghitungnya petama-tama harta tersebut diniatkan ntuk berdagang. Apabila telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh untung, maka ia wajib dizakati.
Mazhab Imamiyah: disyaratkan adanya modal dari awal tahun sampai akhir tahun. maka kalau di pertengahan tahun modal tersebut berkurang, maka ia tidak  wajib di zakati. Apabila nilai modal tersebut berkurang, maka hitungan tahun mulai dari awal lagi.
Mazhab Syafi’i dan hambali: perkiraan untuk dinamakan akhir tahun itu bukan dari awal, pertengahan dan akhir tahun.  maka kalau ia (seseorang) tidak memiliki modal yang mencapai nishab pada awal tahun, juga pada pertengahannya, tapi pada akhir tahun sudah mencapai nishab, maka ia wajib zakat.
Mazhab Hanafi: yang dianggap atau dihitung dalam satu tahun, bukan hanya dipertengahan saja. Maka barang siapa memilki harta dagang yang telah mencapai nishab pada awal tahun, kemudian pada pertengahan tahun berkurang, tapi pada akhir tahun sempurna atau mencapai nishab, maka ia wajib dizakati tetapi kalau pada awal ataupun akhir tahun berkurang, maka ia tidak wajib dizakati.
Disyaratkan juga bahwa harga atau nilai barang-barang dagang tersebut harus mencapai nisahab. Maka nilai harga yang menjadi standar adalah nilai harga emas dan perak. Kalau salah satunya sama maka tidak wajib dizakati. 
Para ahli fiqh golongan tabi’in sepakat bahwa zakat kekayaan dagang hukumnyanwajib. Ibnu mundzir dan abu ubad  mengutip bahwa hal itu sudah konsensus atau ijmak.ibnu mudzir berkata,” para ahli ushul fiqh sudah sampai pada suatu kesimpulan bahwa harta benda yang dimasukan untuk diperdagangkan wajib zakat apabila masanya sudah mencapai satu tahun atau haul. Hal itu diriwayatkan dari umar, anaknya dan ibnu abas. Memanfaatkan pula hal itu ulama-ulama fiqh yang 7.
Sebagian ulama berpendapat ada beberapa syarat yang menjadikan perdagangan wajib dikeluarkan zakatnya yaitu ada kepemilikan harta, baik pribadi atau bersama, ada niat berniaga, sudah sampai nisab dan melewati haul.

                Perhitungan haul pada laba suatu harta
Fuqaha berselisih dalam tiga pendapat syafi’i berpendapat bahwa haulnya diperhitungkan dari hari pengambilan keuntungan, baik harta pokoknya mencapai nishab atau tidak. Pendapat ini diriwayatkan dari umar bin abdul aziz yang menetapkan untuk tidak mengenakan zakat pada laba perdagangan hingga mencapai haul.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa haul laba itu diikutkan pada haul harta pokok. Yakni apabila harta pokok itu telah mencapai haul, maka laba tersebut harus dizakati bersama harta pokoknya, baik harta pokok mencapai nishab atau kurang, selama penggabungan harta pokok dengan laba mencapai nishab.
Abu ubaid mengatakan, “tidak ada seorang pun dari kalangan fuqoha yang mengikuti pendapatnya, yang ikut hanya pengikutnya sendiri.”
Segolongan fuqaha mengadakan pemisah harta pokok yang telah berlalu haulnya itu mencapai nishab atau tidak. Mereka mengatakan, jika harta pokok tersebut mencapai nishab, maka labanya harus dizakati bersama pokok harta, dan jika tidak mencapai nishab, maka tidak harus dikeluarkan zakatnya. Fuqaha yang berpendapat demikian  yaitu Auz’i, abu tsaur dan abu hanifah. Perbedaan pendapat ini disebabkan ketidakjelasan kedudukan laba antara kemiripan dengan harta yang diperoleh sebagai faedah (keuntungan) dengan kedudukan harta pokok.
Bagi fuqaha yang menyamakan laba dengan harta keuntungan sejak pertama, mereka mengatakan bahwa terhadap laba dikenakan ketentuan haul.
Sedangkan bagi fuqaha yang menyamakan laba dengan harta pokok, maka mereka mengatakan bahwa kedudukan laba sama dengan harta pokok.
Hanya saja, dalam menyamakan hal ini diisyaratkan, harta pokok tersebut telah terkena kewajiban zakat, yang berarti bahwa harta pokok itu telah mencapai nishab. Oleh karena itu, pengqiyasan laba dengan harta pokok dianggap lemah dalam mazhab maliki.
Agaknya pendapat yang dipegang mazhab maliki dalam masalah ini ialah mempersamakan harta laba dengan anak-anak kambing, akan tetapi, mengenai anak-anak kambing ini pun masih di perselisihkan oleh fuqaha.
Dari mazhab maliki diriwayatkan pula pendapatnya seperti pendapat jumhur fuqaha.
                Haul keuntungan
Para fuqaha sependapat apabila suatu harta itu kurang dari nishab, kemudian memperoleh keuntungan dari selain labanya, sehingga jumlahnya (harta pokok dan keuntungan) mencapai nishab, maka perhitungan haul dimuai sejak hari sempurnanya nishab.
Malik berpendapat bahwa harta harta keuntungan itu harus dizakati, apabila telah mencapai nishab pada saat berlalu haul atasnya dan tidak digabungkan kepada harta yang telah terkena kewajiban zakat. Pendapat tentang keuntungan ini dikemukakan pula oleh syafi’i.
Abu hanifah bersama para pengikutnya dan tsauri berpendapat semua harta keuntungan dizakati berdasarkan haul harta pokoknya, jika harta pokok tersebut telah mencapai nishab. Begitu pula dengan laba, menurut mereka.
Silang pendapat persoalan harta keuntungan itu dianggap sebagai harta yang menambah harta pokok atau dianggap sebagai harta yang menambah harta pokok, atau dianggap sebagai harta yang tidak menambah pada harta lain (yakni berdiri sendiri).
Bagi fuqaha yang berpendapat bahwa harta keuntungan itu sama kedudukannya dengan harta yang tidak menambah (bergabung) pada harta lain, yakni harta yang tidak terkena kewajiban zakat, maka mereka mengatakan bahwa harta keuntungan itu tidak terkena zakat.
Sedangkan bagi fuqaha yang berpendapat bahwa harta keuntungan itu dianggap sebagai harta yang menambah (bergabung) pada harta lain, dan merupakan satu kesatuan harta, maka mereka mengatakan bahwa apabiala harta yang ditambah (yakni harta pokok) terkena zakat karena sudah mencapai satu nishab, maka haul harta keuntungan itu diperhitungkan berdasarkan haul harta pokoknya.
Abu hanifah berpendapat bahwa apabila suatu harta telah mencapai nishab pada awal tahun, kemudian sebagianya musnah sehingga berkurang dari nishab, lalu pada akhir tahun diperoleh harta lain sehingga tercapai lagi nishabnya, maka harta tersebut terkena kewajiban zakat. Menurut pendapatnya, terdapat kewajiban zakat pada harta tersebut, disebabkan karena meski harta ini tidak mencapai haul dengan sempurna, tetapi pada kesemua bagiannya merupakan suatu harta dengan haul itu sendiri, sedang pada kedua ujung haul tercapai nishab.
Nampaknya, haul yang disyaratkan pada harta itu hanyalah pada harta tertentu saja yang tidak bertambah atau berkurang, baik karena laba, keuntungan, atau lainnya, karena yang dimaksud dengan haul adalah keadaan suatu harta sebagai suatu kelebihan yang tidak diperlukan. Demikian itu karena suatu harta yang tetap berada ditangan pemiliknya selama satu  tahun tanpa mengalami perubahan. Oleh karena itu dikenakan kewajiban zakat atasnya. Karena haki katnya zakat itu hanya dikenakan pada kelebihan-kelebihan harta.

Pendapat saya tentang hadits ini
Pesan utama dalam hadits ini adalah wajib zakat perdagangan apabila sudah mencapai satu tahun atau haul. Namun karena status haditsnaya yang mauquf dan tidak mencapai tingkat derajat kesahihan mutawatir sehingga tidak digunakan sabagai rujukan ataupun patokan oleh ulama.

Hadits ini tidak bisa di bisa di mubadallahkan karena para ulama sudah sepakat bahwa haul adalah syarat wajib zakat perdagangan

Komentar